Imam al-Habib
Abdullah bin 'Alawi al-Haddad (r) berkata: Jika Anda melihat ke
dalam bagian-bagian yang berkaitan dengan Iman (Aqidah) DGN FEMAHAMAN
YANG BAIK DARI Kitab dan Sunnah dan perkataan para pendahulu yang saleh
(salafus Saleh), Anda akan tahu DENGAN pasti bahwa kebenaran ada DALAM
MADHAB AsY'ARIYAH,YANG DI SUSUN OLEH Syaikh Abul Hasan Al Ashari semoga
Allah MENGUCURKAN rahmat kepadanya, DENGAN KONSEP YANG sistematis DAN
MENJADI dasar-dasar akidah orang- orang YANG BERPEGANG KEPADA kebenaran
(Ahlul Haqq), dan SESUAI DGN AQIDAH versi ULAMA2 sebelumnya, YAITU
AQIDAH para sahabat dan MERUPAKAN AQIDAH YG DI sepakati.
Imam Al Haddad
mengatakan :membutuhkan pemahaman yang baik untuk melihat bagaimana
Aqidah AsY'ari tidak menyimpang dari sumber QURAN HADITS,DENGAN KONSEP
YANG membutuhkan penalaran DENGAN mencari di luar aspek-aspek
superfisial (yaitu Quran, Sunnah dan jalan orang Saleh salafus.).DAN
Yang meNGANGGAP sebaliknya, DI KARENAKAN kebanyakan dari HUJAH AsYari
dalam Aqidah tidak mengandung banyak kutipan dari Quran dan Sunnah,
KARENA sebagian besar ulama AsYari yang di SEBUT (mutaklimeen),berbicara
dengan bahasa ILMU KALAM ETC. INILAH DI ANTARA beberapa hal yang saya
dengar yang membuat orang percaya bahwa MADHAB Ashari tidak didasarkan
pada sumber-sumber transmisi ALQURAN AS SUNAH.
Ilmu Kalam secara Etimologis (Bahasa) Ilmu kalam secara bahasa berasal
dari bahasa arab yakni ilm al-kalam. Lafadz tersebut berbentuk
tarkib idhafi, atau susunan mudhaf dan mudhaf ilaih, yaitu
ilmu (pengetahuan) dan al-kalam (perdebatan). Lafadz ilm dalam bahasa
arab adalah ma’rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman) (Lihat Istidhal
bi dzon fil aqidah Syeikh Fathi Salim hal. 36). Lembaga bahasa arab
Mesir, mengartikan lafadz ilm sebagai akumulasi permasalahan dan dasar
yang menyeluruh tentang suatu pemabahsan, yang dibahas dengan metode
kajian tertentu dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum (Lihat
Majma’ Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Arabiyah, hal. 432).
Al-Juwaini (w. 478 H\1086 M) menjelaskan makna ilm dengan : ma’rifah
al-ma’lum ala ma huwa bihi (pengetahuan mengenai obyek yang diketahui
(al-ma’lum) melalui pengetahuan tadi seperti apa adanya) (Mukhtar
Ash-Shihah - Imam Ar-Razi, hal. 577).
Sedangkana lafadz al-kalam yang digunakan dalam pembahasan ini menururt
Abu Bakar Ar-Razi (w. 240 H \855 M) diambil dari lafadz al-kalam yang
berarti al-jurh (cacat atau kelemahan) (Al- Juwaini lihat kitab Al
Irsyad ila qawati’I al-adilati fi ushul al-I’tiqad, hal. 10). Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh At-Taftazani (w. 783 H/1391 M) (Lihat
kitab Syarh Aqoid An-Nasafiyah Imam AtTaftazani, hal. 6).
dari analisis dapat disimpulkan bahwa lafadz al-kalam dapat diingriskan
dengan kata dialektik yang berarti diskusi atau perdebatan. Kata
dialektik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialektika, yang
berarti perdebatan dengan tujuan untk membantah argumentasi lawan atau
mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema dan paradoks (Lihat kamus
filsafat Tim Penulis Rosda, hal. 78).
- Ilmu Kalam secara Terminologis (Istilah)
Ilmu kalam banyak didefinisikan. washil ibn atha’, Al- juwaini, al-iji
al jurjani dll, misalnya menganggap ilmu kalam sebagai disiplin
ilmu yang membahasas akidah islam (Lihat Al-Aqoid wa al- ilmul kalam DR.
Mahmud Al-Khalidi, hal. 20).
Al-Farabi (w. 325 H\956 H) misalnya mendefinisikan ilmu kalam dengan
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempertahankan pandangan
dan sikap terpuji, yang mampu memperjelas kedudukan agama serta
menganggap palsu apa saja yang bertentangan dengan pendapat-pendapat
(Aqaawil) (Lihat Ihsa’ Al-Ulum Ibn Arabi, hal. 131).
Al-Iji mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang mamapu menguatkan
teologi keagamaan (al-aqa’id al-dinniyah) dengan menyatakan berbagai
argumentasi dan menolak keraguan (Lihat kitab Al-Mawaqif ma’a Syarh
Al-Sayid Al-Sindi Imam Al-Iji, hal. 7).
Sementara Ibn Khaldun (w. 785 H\1390 M) mendefinisikan ilmu kalam
sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil
rasional (aqliyah) serta kritik terhadap ahlul bid’ah yang melakukan
penyimpangan teologis terhadap madzhab salaf dan ahlus sunnah (Lihat
kitab Al-Muqadimah Ibn Khaldun,hal. 507).
Definisi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun sebenarnya juga telah
dikemukakan oleh Al-Ghazali (w. 5050 H\ 1111 M) (Lihat Kitab Al-Munqidh
minadh-dhallal Imam Al-Ghazali, hal. 59-60).
Obyek Pembahasan Ilmu Kalam
Sebagai pengetahuan, ilmu kalam mempunyai obyek pembahasan yang spesifik.Sehingga layak disebut sebagai pengetahuan.
Berdasarkan definisi bahwa ilmu kalam adalah pengetahuahn yang membahas
berbagai argumentasi akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, serta
krtitik terhadap penyimpangan akidah ahlul bid’ah dari madzhab salaf dan
ahus sunnah, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek pembahasan ilmu
kalam adalah polemik pemikiran dikalangan para filosuf,seperti
freewill epikuarenisme, dengan fatalisme stoisisme, antara filosuf
dengan mutakalimin, serta polemik teologi antara subtansi dan aksiden
antara Kristen dengan mu’tazilah Abu Hudhayl, serta antara mutakalimin
sendiri antara mu’tazilah dengan jabariyah, antara jabariyah dengan
ahlus sunnah yakni asyariyah dan maturidiyah. Juga antara Ahlussunnah
dengan ibn taimiyah dan pengikutnya.
Obyek pembahasannya ADALAH :
1-Masalah pengetahuan (al-ma’rifah) dan cara memperolehnya.
Pembahasan ini bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan mengenai keyakinan
informative (Al-ma’rifah al-khabariyah) khususnya yang dibawa dari Rasul
SAW. Tujuannya adalah membantah pandangan thummamiyah dan safsata’iyyah
yang menolak pengetahuan informative.
2- Masalah kebaharuan alam (huduts al-alam), yang bertujuan untuk
membuktikan wujud Zat Yang Maha Pencipta. Ini merupakan bantahan
akan pandangan materialis, yang berpendapat tentang kedahuluan alam
(qudum al-alam).
3- Masalah keesaaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah
yang meyakini eksitensi Tuhan cahaya (An-Nur) dan Tuhan Kegelapan
(Adz-Dzulmah).
4- Masalah tanzih (penyucian Allah) dan penolakan tasybih (penyerupaan
Allah atas makhluk). Tujuannya adalah untuk membantah Yahudi DAN
SEJENISNYA yang menambahkan pada Allah dengan ciri-ciri manusia.
5- Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifat-Nya, ataupun berbeda.
Ini merupakan bantahan terhadap mu’tazilah, yang terpengaruh dengan perdebatan seputar sifat-sifat Allah sebagai akibat dari pengaruh filsafat yunani. Ketika konsep jauhar (subtansi) dan aradh (aksiden) 173 (Lihat kitab Al-Anshaf - Imam Al-Baqilani \ hal. 16), serta aqnumiyyah (oknum dalam teologi Kristen) yang digunakan untuk memberi justifikasi atas konsepsi teologi mereka, dimana Tuham merupakan akumulasi dari 3 oknum,yaitu oknum bapak, anak dan ruh kudus 174 (Lihat kitab Al-Irsyad Imam Al Juwaini \ hal. 24-26).
Ini merupakan bantahan terhadap mu’tazilah, yang terpengaruh dengan perdebatan seputar sifat-sifat Allah sebagai akibat dari pengaruh filsafat yunani. Ketika konsep jauhar (subtansi) dan aradh (aksiden) 173 (Lihat kitab Al-Anshaf - Imam Al-Baqilani \ hal. 16), serta aqnumiyyah (oknum dalam teologi Kristen) yang digunakan untuk memberi justifikasi atas konsepsi teologi mereka, dimana Tuham merupakan akumulasi dari 3 oknum,yaitu oknum bapak, anak dan ruh kudus 174 (Lihat kitab Al-Irsyad Imam Al Juwaini \ hal. 24-26).
6-Masalah kalam Allah, baik qadim maupun huduts. Ini terpengaruh
pandangan Kristen yang menganggap Al-Masih sebagai kalimatullah. Menurut
teologi Kristen al-masih adalah Tuhan, sedang dalam pandangan Islam,
Al-Masih adalah kalimatullah. Dari sinilah, Yuhana Ad-Dimsyaqi berusaha
membuat sintesis dari pandangan Islam dan Kristen yang bertujuan untuk
menjustifikasi konsep teologisnya. Jika Al-Masih adalah Kalimatullah,
dan kalimatullah adalah qadim, maka Al-Masih adalah qadim. Jika Al-Masih
adalah qadim, maka Al-Masih adalah Tuhan. Dalam konteks ini
muncullah bantahan dari para Ulama Mutakallimin (Lihat Tarikh
Al-Madzahib Syeikh Abu Zahrah \ hal. 297;Buhuts fi Al-Milal wa An-Nihal
Syeikh Jafar Al-Subhani jilid 2\hal. 254).
7- Masalah kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinana pada
kenabian Nabi SAW, dengan mengmbantah sekte sabi’ah dan brahmana (hindu)
yang menolak kebutuhan manusia pada nabi. Juga membanatah orang yahudi
dan nashrani yang menolak kenabian Nabi Muhammad SAW.
8- Masalah kemaksuman para Nabi yang bertujuan untuk membantah pandangan
Yahudi, bahwa nabi SAW mempunyai kelemahan, dosa dan tidak maksum.
9- Masalah tempat kembali (Al-Mi’ad) yang membantah pandangan reinkarnasi (penjelmaan kembali) agama budha dan lainnya.
10- Masalah al-jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan
berkehendak), yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme
filsafat yunani.
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan, bahawa obyek
pemabhasan ilmu kalam adalah argumerntasi dan bantahan dalam masalah
aqidah yang berkaitan dengan wujud, zat, sifat dan perbuatan
Allah, kebutuhan kepada rasul, hari kiamat, serta pahala dan siksa
(Lihat kitab Al- Firaq Syeikh Abdul Fattah hal. 13 14). Adapun sifat
obyek berkenaan dapat diklasifikasika n menjadi mahsus (terindra) dan
ghair al-mahsus (tidak terindera). INILAH ILMU KALAM YANG DI KEMBANGKAN
ULAMA SUNNI.
SALAF MEMANG TIDAK MENGEMBANGKAN ILMU KALAM,KARENA PADA MASA SALAF, UMAT
ISLAM MEMAHAMI AQIDAH DGN BENAR KARENA DEKATNYA DENGAN MASA
KENABIAN,DAN PADA MASA ITU JARANG ORG YANG MENYESATKAN UMAT DGN RETORIKA
LOGIKA,MAKA KEMUDIAN PADA MASA KHOLAF BERTEBARAN FAHAM2 MENYIMPANG
DENGAN RETORIKA LOGIKANYA, MAKA DI SINI DI perluKAN ilmu-ilmu untuk
melindungi keyakinan yang benar dari serangan intelektual YANG
menyimpang dan DARI ahli retorika, EMANG kadang-kadang, jika seseorang
memiliki kecenderungan menyimpang DARI efek belajar kalaam MAKA akan
BERDAMPAK sebaliknya. Dia akan TERbujuk DENGAN argumen menyimpang,
sesat, tapi ini bukan karena ILMU kalaam sendiri.
Adapun klaim bahwa salaf tidak mempelajari ilmu INI. Hal ini tidak
sepenuhnya benar, KARENA dalam hal apapun,mereka tahu bagaimana
membangun argumen HUJAH, dan mereka GUNAKAN UTK menentang Penyimpang
dengan bukti-bukti rasional. Abu Ĥaniifah MISALNYA menulis KITAB YG
SEBAGIAN ISINYA ADALAH ILMU kalaam seperti al-Fiqh Al-Akbar, di mana ia
MEMBUAT ARGUMENT UTK melawan Mutazili.
Dan faham2 menyimpang slalu ada di setiap zaman SEHINGGA PADA MASA
KHOLAF BANYAK BERMUNCULAN ULAMA2 MUTAKALIMIN DGN AQIDAH SBGAIMANA SALAF
DAN JUGA MENYUSUN DALIL2 LOGIKA,dan MAKIN KE SINI malah lebih maju lagi
dgn corak dan logo baru,ada neo khowarij,neo mu'tazilah,neo
karomiyah,musyabihah,jahmiyah dll..
Jika bukti YANG DI GUNAKAN DALAM ILMU KALAM tersebut valid, sesuai
dengan Quran, dan membuktikan sesuatu yang dinyatakan di dalamnya, maka
mengapa DI ANGGAP MENENTANG Alquran? Waktu yang berbeda dan orang yang
berbeda MEMPengaruhi berbagai jenis bukti, Dorongan untuk memikirkan
bukti-bukti keberadaan Allah dan atributNYA sangat banyak dalam Quran,
dan HAL ITU tidak terbatas pada apa yang ADA PADA TEXT demi TEXT yang
disebutkan dalam tulisan suci SAJA.
Dan ternyata Ibnu taemiyah sendiri memakai ilmu kalam,misal ketika
mengatakn Allah di arasy tetapi tdk bersentuhan dgn arasy dan di luar
alam,bgtu juga pendapatnya tentang alam qodim dll.. DR. Ali Samii
An-Nasyar (Guru besar Filsafat Islam di Universitas iskandariyah-Fa
kultas Adab) dalam kitabnya Manahij Al- Bahts inda Mufakir Al- Islamii
wa Kasyaf fi manhaj Al-Ilmii fi Al-Alam Al-Islamii (hal 179-290) bahwa
Ibn Taimiyah ketika mengkritik filsafat dan ilmu kalam juga terpengaruh
dg penggunaan filsafat dan ilmu kalam itu sendiri. Dan pemikiran beliau
banyak diadopsi oleh kelompok Salafi pada masa ini.
0 komentar:
Posting Komentar